RTH di Kota Metropolitan Asia Tenggara; DKI Jakarta dan Bangkok

Muhammad Fawwaz Nuruddin
10 min readJan 22, 2021

--

Ruang Terbuka Hijau (RTH) Situ Lembang

Memasuki Tahun 2021, DKI Jakarta terlihat sedang diusung oleh deadline pembangunan yang sebentar lagi akan ditagih pada tahun 2030, yaitu perluasan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Target yang ditentukan semenjak tahun 2011 tersebut, adalah RTH direncanakan untuk terus dikembangkan di dalam kota hingga mencapai nilai 30% keseluruhan lahan di Jakarta. RTH pun memiliki berbagai macam keuntungan yang mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan cita-cita tersebut. Pengembangan sumberdaya manusia salah satunya, dengan menyediakan Ruang Terbuka Hijau, maka masyarakat awam, terlepas dari status ekonomi, sosial, maupun politik mereka, dapat berbaur dan menikmati fasilitas publik tersebut. Dasar Ruang Terbuka Hijau pun dapat ditarik bahwa ruang tersebut, dapat diklasifikasi menjadi milik publik, secara keseluruhan, menjadi otoritas dari negara untuk menjaga ruang tersebut. Mengapa? ruang publik merupakan hal penting untuk masyarakat, khususnya dalam hal partisipasi dan representasi, dua komponen penting dalam sistem demokrasi yang Indonesia anut, dan juga memberikan kenikmatan tersendiri untuk masyarakat yang menggunakannya (Taman kerap digunakan untuk refreshing, ruang bermain oleh anak-anak, dan bersantai).

Namun, kerap dijumpai kenyataan bahwa RTH yang DKI Jakarta miliki tidaklah memadai, dan kalaupun ruang tersebut sudah dibangun, benih-benih eksploitasi, dimulai dari ketidakmampuan dalam menjaga kualitas RTH, sempitnya ruas akses menuju lokasi dan luas dari RTH, terlihat dari mata telanjang. Perlu dipertanyakan kembali niat dan usaha dari pemegang kebijakan di Jakarta, dan hendaknya bagaimana mereka dapat mengembangkan RTH agar bisa memadai untuk segenap masyarakat Jakarta. Tentunya, pembangunan yang dilakukan dianjurkan untuk tidak berseberangan dengan faham manusiawi dan empatis atas situasi seluruh masyarakat DKI Jakarta, khususnya masyarakat miskin kota. Inilah latar belakang utama yang dapat ditarik atas mengapa eksploitasi terjadi, bahwa pembangunan RTH tidaklah menguntungkan untuk masyarakat miskin, dan tentu, di situasi yang sering terjadi beberapa tahun silam, dikesampingkan bagai onggok daging dan tidak memiliki hak atas tempat tinggal mereka.

Jika diperbandingkan dengan kota lain dalam lingkup internasional, contoh Asia Tenggara, dapat dilakukan perbandingan dalam konteks penerapan pembangunan RTH yang memasukkan partisipasi masyarakat, salah satunya adalah Thailand, yang mengejutkannya mempunyai kesamaan kultural antara masyarakat mereka dengan Indonesia[1]. Secara politis, Bangkok memang lebih otoriter (kuasa junta militer) dari sekian pemerintahan di Asia Tenggara, namun budaya demokratis dan liberal sudah bercorak di masyarakat Bangkok sejak 2014, dan setelah Pemilu 2019 Thailand, upaya mendemokratisasi dan memberikan akuntabilitas pemimpin di Bangkok terlihat urgensinya seperti yang terlihat dari salah satu artikel opini di Bangkok Post[2]. Jakarta, seperti yang sudah dijelaskan, dipenuhi masalah seperti minimnya partisipasi masyarakat, proses sustainable development yang lambat, ketimpangan urbanisasi, dan perencanaan perumahan yang subprima dan diragukan, dapat dibandingkan dengan Ibukota Thailand, Bangkok yang memiliki corak masalah yang sama. Terlihat juga upaya yang sudah dilakukan metropolitan seperti Bangkok untuk menyejahterakan rakyatnya, khususnya perbandingan penyediaan sektor perumahan dan penyediaan RTH sebagai penyeimbang atas kuasa otoriter mereka yang tidak memberikan kebebasan bersuara kepada masyarakat.

Bang Kachao; Bangkok’s Green Lungs

Salah satu RTH paling signifikan di Bangkok adalah hutan kota Bang Kachao. Hutan kota tersebut bukan hanya menjadi ruang hijau di tengah hutan urban, namun juga berkontribusi untuk menjaga ekosistem masyarakat (terutama dalam bidang kesejahteraan) dengan alam agar stabil. Dampak positif dari Bang Kachao adalah menjaga kesehatan dan keamanan masyarakat Bangkok terutama yang tinggal di dekatnya, aspek lingkungan seperti purifikasi udara, berkurangnya polusi suara, menyejukan panas kepadatan, dan pencegahan erosi tanah, dan juga aspek sosial seperti penggusuran paksa, proses representasi yang merugikan, dan kurangnya akses ruang rekreasi publik. Pada akhirnya, kedua aspek tersebut menjaga keberlanjutan tempat tinggal masyarakat dan menjaga kedaulatan mereka secara tidak langsung dalam faktor sustainabilitas tanah, dimana menjaga kesuburan tanah menjaga kesehatan dan hak rakyat[3]. Bang Kachao pun menjadi pusat mitigasi perubahan iklim, berfungsi sebagai sistem kontrol dari ekosistem kota Bangkok yang terancam dicemari polusi, menghilangkan masyarakat ke akses udara bersih dan tempat rekreasi natural[4]. Hal tersebut integral untuk menjaga Hak atas Kota masyarakat, dimana mengurangi RTH akan mengurangi kedaulatan rakyat atas kota tersendiri.

Melihat hal tersebut, miris jika dilihat bahwa Jakarta berbanding terbalik, dimana RTH hanya memenuhi 9,98% dari seluruh ruang kota, dan penempatannya tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat[5]. Berbeda secara drastis dengan Bangkok yang meskipun pemerintahannya adalah junta militer yang semi-otoriter, tapi mempedulikan hak masyarakat mereka dalam menjaga hutan kota yang berada di pusat[6]. Menjadi semakin miris, ialah pihak pemerintah tetap proaktif dalam perjuangan mereka untuk menjaga Bang Kachao dari Kementerian Kehutanan Kerajaan (Royal Forest Ministry) sejak tahun 2016[7]. Pemerintah Bangkok khususnya mengembangkan sektor agrikultur di Bang Kachao, dimana di upaya mereka, pemberdayaan kedaulatan pangan dalam ruang publik masyarakat amatlah penting karena telah memberikan swadaya baru untuk masyarakat mempertahankan ketahanan pangan mereka. Namun, pengembangan sektor agrikultur juga memberikan kedaulatan mereka atas sarana produksi pangan dan juga memperkuat sustainabilitas RTH tersebut, melepaskan kemungkinan penggusuran oleh pelaku usaha besar yang sangat menyayangkan persepsi developmental dan ketahanan jangka panjang mereka. Berpredikat di ruang urban, ketersediaan pangan tidak hanya menjaga keberlangsungan masyarakat didalamnya, namun juga menghentikan perluasan kota tak terkendali. Hakekatnya, hal tersebut pasti akan merugikan 40,000 manusia yang tinggal di distrik internal Bang Kachao[8].

Penyediaan agrikultur kota di Jakarta sendiri sangat tidak memadai, namun sudah mengalami kemajuan dengan bimbingan/rujukan dari Dinas KPKP (Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian) DKI Jakarta. Teknik yang dipakai adalah Urban Farming yang sudah diterapkan di 150 lokasi di Jakarta dan terus meningkat[9]. Seperti yang disebutkan sebelumnya, dengan masyarakat membangun sumber pangan sendiri, mereka melepas diri dari pengaruh oligarki bisnis dan memperkuat kedaulatan mereka yang terancam tereksploitasi. Hal yang disayangkan adalah kurangnya sarana-prasarana untuk rakyat miskin kota untuk menunjang kegiatan yang sama, memastikan bahwa praktik pertanian urban tidak bisa menjadi solusi jangka panjang. Dapat dipahami secara praktis, dibutuhkan dua hal untuk menjaga kedaulatan hak atas kota masyarakat di sektor pangan, ruang yang besar atau teknologi yang lebih memadai tingkat panen untuk menunjang masyarakat, dan tentunya kedua solusi tersebut termasuk ketentuan bahwa alat, ruang, teknologi, dan hasil produksi dikuasai penuh oleh rakyat. Bang Kachao sendiri telah memberikan solusi perlunya ruang yang besar (sustainable) atas masalah ketersediaan pangan dan kedaulatan pribadi masyarakat.

Bang Kachao

Namun, terdapat masalah lain yang akan dialami metropolitan dan dapat diatasi dengan memberikan daerah perkembangan atas penanaman pangan mandiri untuk rakyat, yaitu ‘overpopulasi’ dari urbanisasi. Menganalisis dari kacamata neoliberalisme, hal tersebut dapat dijadikan alasan atas kontribusi yang diberikan oleh masyarakat, jika tentu dijadikan tren secara luas. Namun, keadaan tersebut juga menciptakan preseden buruk untuk masyarakat miskin yang tidak memiliki dan juga tidak disediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk menanam oleh pemerintah, berpotensi bahwa mereka dianggap “tidak berkontribusi” atas perkembangan ruang kota. Dalam kasus Urbanisasi, Bangkok dan Jakarta, dengan posisi sebagai masing-masing sebagai Ibukota negara, memiliki masalah yang sama. Namun, memiliki konteks yang amat berbeda dengan kompleksifitas bermacam-macam. Saat Jakarta bermasalah dengan urbanisasi masyarakat dari pinggiran pindah ke lingkungan urban, menciptakan kelas masyarakat sub-urban. Bangkok memiliki isu overpopulasi dari tenaga kerja luar negeri yang bermukim dan tinggal secara jangka panjang (Kurun waktu hingga 3 Keturunan) untuk mencari mata pencaharian. Notabenenya, kedua kelas masyarakat tersebut merupakan rakyat miskin yang memindahkan diri karena kepentingan ekonomi, bermigrasi untuk mencoba mencari nafkah di kota urban dan pusat industri/ekonomi.

Pada tahun 2019, 10% (3,3 Juta orang) tenaga kerja asing Thailand terdiri dari pekerja yang bermigrasi dari berbagai macam negara Indocina hingga Asia Selatan, dimulai dari Kamboja, Myanmar, Laos, hingga Bangladesh yang berdatangan mencari pekerjaan. Munculnya bonus demografi yang nyata dan tidak mengandai-andai tersebut memberikan kendala tersendiri, khususnya urgensi penyediaan tempat tinggal, pekerjaan, rekreasi, dan fasilitas publik lain untuk menyeimbangkan status mereka sebagai warga negara umum untuk menyeimbangkan hak mereka sebagai warga kota yang sama seperti penghuni lainnya yang berkontribusi. Berkesinambungan dari naiknya ekonomi Thailand dengan munculnya tenaga kerja asing pun memberikan kesempatan pemerintah untuk mengurus meledaknya jumlah masyarakat kota. Beberapa langkah bijak pun diterapkan untuk mensejahterakan pekerja asing yang singgah permanen di Thailand, khususnya Bangkok. Untuk menjaga kestabilan hidup dan kesejahteraan keluarga mereka, perumahan gratis, akses mudah ke sekolah dan tempat kerja diberikan di Distrik Bangphlat, Bangkok, dan perumahan tersebut memberikan fasilitas layak ke sekiranya 700 KK (perkiraan kasar) untuk keluarga pekerja asing yang menetap[10]. Masyarakat Bangkok pun terintegrasi dengan penghuni baru yang notabenenya memperkuat struktur masyarakat itu sendiri. Hal tersebut layak dicontoh untuk pemerintah Indonesia, dimana saat ini masyarakat rural sedang aktif-aktifnya pindah ke Jakarta untuk menguji nasib menjadi pekerja, namun tidak diberikan lingkungan dan tempat tinggal layak yang sesuai dengan standar masyarakat Jakarta yang lain. Namun, satu hal penting yang harus digarisbawahi adalah, fasilitasi terhadap para pekerja yang menjadi bagian masyarakat, berjalan dari persepsi neoliberalisme, bukan persepsi humanis yang mempertimbangkan konteks sosial-politik hingga kultural masyarakat, faktor penting untuk ruang sosial bukan hanya untuk manusia di Bangkok dan Jakarta, tapi seluruh dunia.

Diperhatikan lebih dalam, Thailand tak lolos dari kelalaian mereka untuk memberdayakan masyarakat secara menyeluruh, bahkan menyerupai Indonesia yang tidak mendukung kesejahteraan bersama mempertimbangkan hak atas kota masyarakat, termasuk hak rakyat miskin kota. Kedua persamaan pemerintah Thailand-Indonesia saat ini adalah, mereka memberikan perhatian khusus ke masyarakat menengah ke atas dalam strata ekonomi dan pelaku usaha besar, menjadikan mereka influencer utama terkait formulasi kebijakan. Dikarenakan posisi ekonomi mereka memberikan kekuatan politik yang besar atas status dan pengaruh yang dapat mereka berikan. Persepsi ketimpangan berjalan dari perkembangan ekonomi yang sejalan dengan paham neoliberalisme yang mementingkan kepentingan pasar bebas yang telah menjadi standard global dunia modern ini yang mengkomodifikasi segala hal/benda/ruang. Bisa dikatakan buruh dan pekerja, mau itu rakyat yang lahiriah berasal dari ranah domestik maupun internasional, urban maupun rural, diberikan tempat tinggal bukan dengan persepsi bahwa tanah/rumah tersebut mereka miliki, namun hanyalah komoditas yang “dipinjamkan” ke mereka layaknya hutang, dapat diambil semena-mena tanpa mempedulikan faktor humanis bahwa mereka memiliki hak-hak tersendiri sejak tinggal di tanah tersebut. Salah satu kasus kontroversial di Thailand adalah pemindahan paksa masyarakat miskin dari tempat tinggal mereka di kawasan yang dicap sebagai sentral terhadap pembangunan infrastruktur. Salah satu LSM pendukung kedaulatan masyarakat di Thailand; FRSN (Four Regions Slum Network), masih mendesak pemerintah untuk memberhentikan penggusuran paksa yang tidak mempertimbangkan sisi manusiawi[11].

Seperti disebutkan sebelumnya, pembangunan ekonomi menjadi persepsi utama pengembangan Bangkok, bukanlah pembangunan manusia, persepsi tersebut adalah pencetus utama efek negatif atas tidak memungkinkannya partisipasi masyarakat dan melemahkan Hak atas Kota yang mereka miliki. Dengan sistem otoriter Thailand/Bangkok, hal tersebut diperkuat, dimana sejak 2016 gubernurnya merupakan orang terpilih junta militer, menggantikan gubernur sebelumnya yang terpilih secara demokratis, menghentikan upaya untuk memberikan restitusi. Segala usaha dan metode pemberdayaan masyarakat yang humanis, dikesampingkan alih-alih untuk mengurangi biaya untuk menjaga keuntungan rezim. Lagi-lagi hal tersebut meneriakkan adanya perbedaan antar kepentingan kelas atas hingga representasi dan persepsi dari kaum elit yang menjadi kepentingan utama pemerintah. Tentu keadaan tersebut yang akan terus mengeksploitasi rakyat miskin kota dengan metode komodifikasi lahan dan menutup kesempatan munculnya ruang publik yang berguna untuk mereka secara kontekstual. Penggunaan metode pembangunan manusiawi dengan mempertimbangkan konteks sosial-politik hakikatnya diperlukan bukan hanya untuk kepentingan manusianya saja, namun untuk kepentingan alam dan lingkungan yang dijaganya. Parahnya, daripada mendengarkan opini publik secara inklusif, yang mencakup keseluruhan masyarakat, suara rakyat juga dibungkam menggunakan penangkapan paksa (Salah satu bentuk Represifitas Aparat) dengan dasar legal-formal atas nama perkembangan ekonomi yang tentu berdampak besar untuk kelas penguasa.

Positifnya, setidaknya Di Jakarta sudah tercipta langkah-langkah birokratis untuk segera menciptakan RTH yang mumpun dan berguna untuk masyarakat luas. Dengan munculnya urgensi baru bagi para aktor implementasi untuk mempertimbangkan dokumen RTRW DKI Jakarta 2011–2030, mereka haruslah membangun lebih banyak RTH, melewati 30% dari batas kebutuhan minimum. Urgensi tersebut menciptakan preseden harapan akan terciptanya lingkungan kota yang memedulikan aspek sosial-politik dan budaya masyarakat yang tinggal di kota Jakarta. Ini secara eksplisit telah membedakan Jakarta dari Bangkok, meskipun memiliki Bang Kachao yang diagungkan, Bangkok masih kalah secara sistem representatif dari Jakarta yang memiliki sistem demokratis, sesuai dengan paham normatif mendengarkan opini publik secara inklusif.

Tidak dapat dipungkiri kalau cara-cara yang diterapkan oleh Pemerintah Jakarta, sangatlah tidak menghormati representasi dan hak-hak yang dimiliki oleh warga kota. Kondisi yang dialami oleh korban penggusuran untuk kepentingan “Ruang Terbuka Hijau” dan memenuhi kuota dari RTRW 2011–2030, sangatlah tidak bermoral dan tidak melalui jalur legal dan manusiawi. Diketahui bahwa kita sudah tidak hidup di jaman pertengahan, dimana tidak terdapat Hak Asasi Manusia dan kuasa kerajaan merajalela. Realita bahwa pihak penguasa harus menghargai hak setiap individu yang terdampak, tidaklah menempel dan diserap dengan baik oleh segenap pihak Pemerintah Terlihat ciri khas tersebut dari jaman kepemimpinan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) hingga Anies, dimana keduanya terlihat berbeda secara politik dan agama, namun corak represif dan birokratis dingin mereka tetaplah sama.

Penggusuran Paksa Lahan di Kalijodo, Jakarta, untuk pembangunan RTH dan Fasilitas Publik

Referensi

[1] Kusmiatun, Ari; Liliani, S. Indonesia–Thailand Culture Similarities and Their Contributions in BIPA Learning. Proceedings of the International Conference on Educational Research and Innovation (ICERI 2019), Jakarta, January 2020

[2] Diakses tanggal 20 Februari 2021, dari: https://www.bangkokpost.com/opinion/opinion/1979771/time-to-elect-city-governor

[3] Bolund, P.; Hunhammar, S. Ecosystem services in urban areas. Ecol. Econ. 1999,29, 293–301.

[4] Singh, K.K.; Gagné, S.A.; Meentemeyer, R.K. Urban Forests and Human Well-Being; Elsevier: Amsterdam, The Netherlands, 2018; pp. 287–305.

[5] Diakses Tanggal 21 Februari 2021, dari: https://www.liputan6.com/news/read/4167767/foto-rth-jakarta-baru-998-persen-jauh-dari-syarat-minimum?page=4

[6] Diakses Tanggal 21 Februari 2021, dari Easey, Reuben “The battle to save Bangkok’s ‘Green Lung’”. The Nation. Agence France-Presse.

[7] Diakses tanggal 21 Februari 2021, dari: https://www.bangkokpost.com/learning/learning-news/441114/bioblitz-to-save-bang-kachao

[8] Kees Krul. Preserving Bang Krachao’s green space through agriculture. Asia In Focus. 2015.12. pp 25–34

[9] Diakses tanggal 22 Februari 2021, dari: http://www.beritajakarta.id/read/73919/sudah-ada-150-lokasi-pertanian-perkotaan-di-jakpus#.X5q51YgzbIU

[10] Diakses Tanggal 22 Februari 2021, dari: https://asia.nikkei.com/Life-Arts/Life/Migrant-workers-in-Thailand-live-harsh-but-improving-reality

[11] Diakses tanggal 22 Februari 2021, dari: https://www.bangkokpost.com/thailand/general/1101721/civic-groups-pressure-govt-over-evictions

--

--

Muhammad Fawwaz Nuruddin

Mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, International Program (KKI)