Penunggu Pintu Depan (2/3)

Overthinking Melanda

Muhammad Fawwaz Nuruddin
3 min readAug 13, 2020

Aku mulai memikirkan berbagai macam hal-hal yang tak senonoh. “Kira kira arwah penjaga ku umur berapa ya? Dia laki atau perempuan? Mukanya gimana ya? Ganteng nggak ya? Apa aku bisa jadian sama dia daripada jadi jomblo terus?” Namun, aku tepis pikiran tersebut menyadari seberapa konyol diriku jika terus memikirkan hal tersebut. Sejujurnya, aku masih memiliki beberapa keraguan dari hal seperti ini, namun, pikiran tersebut tetap melekat erat di pikiranku. Hingga pada suatu malam.

Saat itu aku berada di rumah almarhum Nenek ku. Seperti suasana pulang kampung seperti biasa, aku melihat ada kerabat-kerabatku yang lain juga singgah dan tegur sapa satu dengan yang lain. Aku sedang bersama Om ku, bermain dengan Film kameranya. Anehnya, berbentuk seperti Kamera Digital biasa, aku dapat melihat hasil hasil foto yang aku ambil. Karena aku sendiri hobi Fotografi, akupun mengambil banyak gambar dari anggota keluarga yang lain.

Kondisi kamera itu sudah sangat miris. Dimana pas aku berniat untuk mengambil sebuah foto, yang bereaksi hanya Flash/Blitz kameranya, namun hasil potretnya tidak terproses. Saat beberapa foto sudah bisa terproses, aku sendiri berharap tak mengambil foto tersebut.

Beberapa kali ketika blitz kamera sudah menyala, dan foto sudah terlihat, terlihat ada sosok yang “Ikut” didalam foto tersebut. Malah, beberapa kali orang yang aku foto berubah total jadi sosok “Itu”. Ia berambut panjang, gaun putih, biasa kita sebut sebagai Kuntilanak. Hal tersebut membuatku tegang maupun ketakutan atas hal tersebut.

Di mimpi ini, kebetulan aku mempunyai saudara yang bisa berkomunikasi dengan sang makhluk halus. Setelah kuberitahu ia tentang foto-foto tersebut dan pengalaman aku di dunia nyata mendengarkan kisah sepupuku, ia setuju untuk membantuku.

“Yaudah, coba gua tanyain kenapa dia muncul terus di foto lu. Lu mau ikut ngobrol nggak?” Aku jawab; “Ya nggak lah, ngapain sih, gua takut nanti gua liat gimana?” “Gabakal bisa liat kok, tenang aja.” Tetap saja aku merasa ragu dengan permintaan saudaraku.

Aku memilih untuk menunggu “sesi” yang dilakukan dia, aku menuju ke Ruang TV sementara dia mencoba berkomunikasi dengan arwah tersebut di Ruang Tamu. Dari situ, aku bisa mendengar suara “dia.” Jujur, suara dia biasa saja, seperti orang-orang sekitar. Topik obrolan pun tidak terkesan terlalu serius maupun luar biasa. Tetap saja, aku masih merasa takut dengan hal tersebut. Bude ku kebetulan duduk disebelahku, dan aku mencoba untuk sembunyi di pangkuan dia, seakan-akan aku melindungi diriku dapat memberikanku kenyamanan tersendiri.

Setelah saudara ku selesai berbicara dengan makhluk halus tersebut, dia menghampiriku. “Ra, jadi dia dateng karena lu, SIHIR gitu bentuknya, jadi hal yang pernah lu pakai buat nyelakain orang.” Seketika ku tercengang. “Lah, gua nggak pernah pake sihir-sihiran ke orang sama sekali, apalagi buat niatan nyelakain.” Seingat aku sendiri, belum pernah aku saking bencinya sama orang lain sampai aku berniat mencelakainya, amit-amit aku pikir.

“Coba lu inget-inget lagi Ra, siapa tahu lu pernah pake (sihir) tapi lu sendiri nggak sadar.” “Sumpah demi Allah gua nggak inget apa-apa soal pakai Sihir ataupun sejenisnya.” Lalu aku mulai berpikir panjang, dan mulai memikirkan semua kata-kata jelek gua, sampai aku sampai ke ranah dunia maya. Apa mungkin aku sendiri pernah ngejek orang pake sumpah di Internet? Kalau begitu, semisal orang yang gua katain nggak tahu apa apa, dan aku sendiri nggak kenal sama dia, gimana aku bisa minta maaf? Akhirnya aku bertanya pada saudaraku, berjaga-jaga misalkan gua pernah ada salah sama orang di Internet.

“Kalau yang gua katain misalnya Youtuber/Influencer gitu gimana dong?” “Yahh Ra, kalau itu gua ngga tahu gimana cara ngeperbaikinnya.” “Hmm coba mungkin yak gua DM orang-orang jadi tahu siapa aja.” Setelah itu, aku dengan saudaraku mencari berbagai cara untuk memperbaiki keadaan yang telah menimpaku, meskipun kita tetap tidak tahu penyebab dia tiba-tiba muncul.

Ketidakyakinan itu membuatku merasa garang. Hingga akhirnya saudaraku mengatakan sesuatu, “Ra, apa jangan-jangan dia nggak jahat yak, jangan-jangan dia Arwah Penjaga lu?”

FIN (2/3)

--

--

Muhammad Fawwaz Nuruddin

Mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, International Program (KKI)