Kelas Menengah & Kondisi Simalakama:
Mayoritas yang Terpojokkan

Muhammad Fawwaz Nuruddin
5 min readApr 24, 2021

--

Ketika pandemi ini, kerap kita dipertemukan oleh situasi yang kian membuat frustasi, dan perasaan tersebut bisa dibilang cukup mainstream untuk banyak orang. Bisa dipastikan di kondisi seperti ini, satu kelas sosial yang cukup membuat keresahan untuk orang yang diklasifikasi didalamnya ialah yang tidak sering diucapkan maupun diutarakan di teori dan analisis kondisi sosial masyarakat. Kelas tersebut adalah kelas masyarakat menengah. Cukup disayangkan ketika kelompok masyarakat yang mendiami posisi mayoritas di dunia pasca industrialisme ini menjadi kelompok yang semakin dirundungi oleh pemikir populer. Semakin menjadi-jadi alienasi yang kita dapatkan, sehingga jika Marx sendiri mampu berargumen, kita akan menjadi kelas yang lebih mustahil untuk mengekspresikan diri melalui karya kreatif kami yang datang dari keahlian, karena semakin sering dieksploitasi (Marx & Engels, 1990). Kasus seperti para pekerja di bidang Design Grafis, Insinyur Audio dan Video, Editor, Penulis, HR, Admin Kantor, maupun Agen Marketing dan pekerjaan kantor lainnya sering dijumpai hanya diibaratkan sebagai kelas yang mendapatkan kesempatan dalam meraih Pendidikan dengan mengambil untung dari eksploitasi sistemik. Perkantoran, keahlian mereka hanya sering digunakan secara semena-mena dan tidak berbayar hanya karena korporasi membutuhkan mereka. Argumen yang sering terlihat dan juga sering terjadi, pun adalah keahlian yang kami miliki dicemooh oleh pemikir yang merepresentasikan “masyarakat kelas bawah” sebagai bentuk ketidakadilan dan eksploitasi kondisi sosial. Nyatanya hal tersebut relatif dari faktor budaya, daerah, bahkan keberuntungan, dari sebagaimana cara kami pun berusaha “mencurangi” sistem yang merugikan setiap orang kecuali konglomerat culas yang merundungi semua orang yang ingin bergerak dalam strata sosial. Secara garis besar, tidak dapat dipastikan apa yang akan diucapkan mengenai orang-orang yang mendiami posisi ini. Namun satu hal sudah jelas, peng-antagonisir-an ini tidak akan berdampak besar pada kami untuk berubah dan mendapatkan kesadaran kelas untuk “revolusi pekerja seluruh dunia” dari narasi sinting yang diutarakan komunis garis keras. Pandangan fatalistik sudah menjumpai kelas yang hanya mampu mengucap dan berdoa, pada suatu tuhan primordial yang abstrak karena ia lebih berkuasa dari kami.

Marxis akan mengucap bahwa kami adalah kelas eksploitatif yang terus berusaha mencapai posisi kekayaan yang lebih tinggi demi merugikan orang lain dengan keadaan yang lebih rendah. Eksploitasi dari pekerja melalui para mandor dan manajer dan officer di strata kantor yang selalu memaksakan kehendak dari korporasi. Mengesampingkan bahwa di waktu seperti ini–bahkan jika kami mampu berargumen, setiap saat–kami selalu hidup diujung tanduk antara ambang kemiskinan dan alienasi dari sesama kelas menengah, belum mengesampingkan tekanan dari kelas atas pun sama atau bahkan lebih buruk untuk manajer yang memiliki suatu kelemahan yang secara hakikinya humanis. Satu hari buruk dan seseorang mampu kehilangan segalanya dan beresiko menjadi gila dari persepsi yang mengantagonisir keadaannya, terlepas juga dari kami yang tidak lebih beruntung untuk memiliki garis keturunan konglomerat besar seperti masyarakat kelas atas. Keadaan yang membuat kami paling lemah adalah melalui posisi yang masih pertaruhan atas resiko yang kami punya, namun kerap kali, posisi tersebut rentan untuk lebih dieksploitasi dari pihak yang dapat menipu dengan janji-janji manis, yang kebetulan kian semakin sering ditemukan di zaman kontemporer ini. Kita dapat menemukan mereka dari kelas atas yang pro-ekonomis dan neoliberal seperti dari motivator kekayaan, influencer, maupun orang-orang arogan lainnya yang melihat orang tidak sukses sebagai kegagalan yang patut diludahi. Omong kosong untuk kelompok orang-orang yang beranggapan bahwa mengatur jam kerja sendiri dan bekerja dari rumah hanya berfungsi untuk orang yang memiliki tekad saja. Ingin ditekankan untuk para dungu itu untuk “Buka mata dan telinga dulu kawan, kita tak memiliki sumber modal untuk ‘peluang’ yang kalian tawarkan selain mata pencaharian yang hanya mampu untuk membiayai kehidupan sehari-hari kami.”

Libertarian dan Ekonomis pun berargumen hal yang sama, bahwa kami adalah sekelompok masyarakat yang tidak memiliki cukup banyak rencana cadangan untuk menghadapi tantangan kehidupan, maupun “kurang berusaha” dari segala tantangan dari ekonomi dan sifat manusia yang selalu memakan sesama kaumnya. Melepaskan di lapangan fakta bahwa kondisi kami selalu terjebak di posisi yang kerap rentan dari imbas pemekerjaaan paksa dan perundungan terus-menerus dari orang-orang kelas atas untuk menggantikan mereka. Sistem meritokratis yang didambakan setiap ekonomis dan autocrat nyatanya hanya mendukung keahlian yang dibawa dair orang-orang yang satu golongan, keturunan, atau bahkan satu kelompok teman ketika sekolah atau bahkan hanya titipan teman (Kerans, Drover, & Williams, 1988). Patut ditertawakan orang-orang kelas atas untuk mengganggap bahwa kami, para pekerja kantoran, pekerja yang masih memiliki keahlian di bidang teknologi dan digital, yang selalu berusaha melaksanakan kepatutan kami untuk mematuhi sistem tidak seperti masyarakat kelas bawah yang sudah memiliki kesadaran kelas, dibilang tidak memiliki usaha dan motivasi yang kuat untuk “melaksanakan kehendak dan membuat dunia seperti milikmu.” Omong kosong tersebut hanya datang dari orang-orang tidak bermoral dan tidak berperikemanusiaan. Meskipun ironisnya, para orang-orang yang mengaku libertarian dan pendukung neoliberalisasi ekonomi hanyalah orang yang ngakunya memiliki koneksi, namun bekerja sebagai buruh lepas untuk korporasi besar yang tidak akan acuh untuk memecat mereka dimanapun dan kapanpun.

Kenyataan bahwa kami hanya ingin melepas jeratan dari ketidakmampuan, maupun kekangan terhadap kebahagiaan dan kepuasan, sering dikesampingkan seluruh jaringan masyarakat, bahkan kelas menengah yang buta dengan kondisinya sendiri. Kebutaan karena janji manis para konglomerat sampah basi, maupun pegiat revolusi zaman bahula, pasti akan selalu dijumpai. Kesadaran kami akan kondisi yang sering tertimpa oleh kemaslahatan dan keserakahan pun sudah lama ditemui, syukurnya karena Pendidikan kami memberikan peluang tersebut, namun mencari jalan keluar dalam kesalahan dan menyalahkan pihak yang salah selain diri kita sendiri karena berdiam dan tak mencoba menemukan makna dalam kehidupan dari faktor kelas sosial hanya akan berdampak fana untuk seluruh umat manusia. Sebatas keuntungan yang didapat dari fungsi-fungsi negara untuk warga negaranya seperti hukum, sistem perbankan, dan penyediaan hiburan, hanyalah sepeser nikmat untuk kami hidup sebagai orang yang layak. Peradaban manusia sudah dibilang mencapai kemajuan yang elegan, dan mampu mensejahterakan semua orang setelah sekian lama. Jika ini adalah peradaban yang dijanjikan, kami tak akan kaget jika ujung-ujungnya kami akan jadi kelas pekerja yang tak terlalu diabaikan sebagai pencipta generasi penerus bangsa(t), tetapi tetap diawasi gerak-gerik, perkataan, dan perilakunya seperti kondisi yang dijumpai di buku 1984. Zion yang kami incar adalah taman Firdaus, yang kami temukan adalah Taman mini indonesia indah. Untuk karena itu untuk tetap berdiam diri maupun terlalu terikat pada suatu ideologi sehingga buta akan realita akan menjadi alternatif bagi kami. Kerap pun yang akan sang penulis sampaikan adalah dengan melakukan hal tersebut kita hanya akan menambah parah kesempatan umat manusia, khususnya kelas menengah sendiri, untuk berkembang secara pemikiran. Terjebak dalam realita yang selalu menjepit dan tidak melakukan apa-apa dari siksaan tersebut, adalah aksi yang lebih berdosa daripada mati untuk perjuangan melawan ketidakadilan.

Berikut hanyalah opini dari sang penulis. Jika terdapat salah kata maupun pilihan yang vulgar dalam penulisannya dimohon dimaafkan dan diberi kesempatan untuk dicerna terlebih dahulu dan direfleksikan dengan kehidupan kita masing-masing. Sekian saya ucapkan Terimakasih.

Referensi Penulisan

Kerans, P., Drover, G., & Williams, D. (1988). Welfare and Workers Participation: Eight Case Studies. London: Macmillan Press.
Marx, K., & Engels, F. (1990). Das Kapital: Vol I, II, III Complete Ed. London: Penguin.
Orwell, G. (2000). 1984 (Nineteen-Eighty-Four). London: Penguin.

--

--

Muhammad Fawwaz Nuruddin

Mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, International Program (KKI)