Kedaulatan Pangan: Hak Rakyat yang Hilang

Muhammad Fawwaz Nuruddin
6 min readJan 22, 2021

--

COVID-19 telah mengubah kehidupan sehari-hari di hampir setiap sudut dunia, bagi jutaan orang yang tinggal di negara sumber pokok agraria seperti Indonesia, kekhawatiran akan kelangkaan pangan membuat kondisi pandemi kian parah. Dalam konteks ini, pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) telah memicu rangkaian peristiwa yang akan berakhir tragis, khususnya untuk rakyat miskin kota maupun desa yang termarjinalkan oleh segenap populasi bahkan pemerintah dalam kurangnya menangani masalah ketersediaan pangan secara menyeluruh. Krisis pangan akan melanda negeri Indonesia yang tercinta, keadaan ini diciptakan oleh situasi yang membuat kita sebagai rakyat yang sadar akan keadaan memaksa kita memiliki tanggung jawab mengurus masalah ini bersama. Haruslah dimulai aksi solidaritas untuk kita membantu satu sama lain, dan membangun solidaritas kesaudaraan antar rakyat — gotong royong seperti istilah yang digunakan oleh aparatur pemerintah — supaya kita, rakyat berdaulat dapat menjaga keamanan bersama-sama. Marilah kita — sebagai manusia yang bebas — untuk bisa berdiri sendiri dan bersama saudara tanpa ditopang oleh sistem yang berdiri oleh kemunafikan, pengkhianatan, dan peniscayaan bahwa kekayaan diatas segala-galanya, bahu-membahu membangun persaudaraan dari kebersamaan dan persatuan komunal demi kedaulatan pangan. Diperlukan pula konsep “Kedaulatan Pangan” yang bisa dipahami dan berkompromi untuk seluruh lingkungan masyarakat tertindas untuk bisa bersolidaritas guna menghindari krisis yang hari demi hari, semakin nyata kemunculannya.

Menurut Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), salah satu pilar dari Kedaulatan Pangan adalah keberadaan Sistem Pangan Lokal. Dalam konteks masyarakat Indonesia, pangan yang beragam amatlah penting bagi kita dikarenakan untuk budaya Indonesia yang agraria, tidak ada satu jenis pangan pun yang dapat menyediakan gizi secara lengkap untuk menopang pertumbuhan masyarakat dari segi kesejahteraan dan kebebasan. Dengan konsumsi yang beragam, maka secara langsung kekurangan zat gizi dari satu jenis pangan akan dilengkapi gizi dari pangan lainnya. Menciptakan kebebasan dari masyarakat untuk melakukan hal-hal lain yang bersifat primer seperti pekerjaan, berkeluarga, hingga belajar. Pendukung dari adanya keberagaman pangan dapat ditelaah dari UU Nomor 18 tahun 2012 yang merujuk bahwa: Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampa perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Kita pun dapat melihat bahwa kebisaan untuk memberikan kebebasan pilihan atas pangan sudah merupakan ciri khas yang berpendam di masyarakat Indonesia. Diketahui masyarakat desa dari ragam belahan bumi Nusantara sejak lama telah mengembangkan pola makan tradisional/lokal yang menyediakan aneka makanan di meja makan. Jika diteliti dengan seksama, ini dapat dengan mudah ditemui dari makanan-makanan tradisional seperti Nasi Uduk/Lemak, Sop/Sayur (Buntut, Ayam, Asem), Asinan, Gudeg Jawa, hingga Bubur Kacang Hijau/Ketan Hitam yang mencakup segala jenis makanan olahan asli dari budaya-budaya di Indonesia termasuk makanan utama, kudapan, dan minuman. Pada sisi lain, kesadaran akan pentingnya konsumsi pangan beragam menghindari ketergantungan terhadap satu jenis pangan (beras/nasi contohnya). Pembebasan diri dari ketergantungan satu jenis pangan primer akan memberikan kebebasan pangan dan pilihan kepada masyarakat yang tereksploitasi secara ekonomi dari belenggu konglomerasi pangan internasional yang memiliki influensi atas impor pangan dan proses globalisasi pasar bebas. Eksploitasi tersebut, yang dilakukan melalui pemanfaatan kebergantungan masyarakat miskin bukan hanya kegiatan yang secara nyata bangkrut di segi moral dan akhlak, namun juga menyelewengi salah satu mimpi terbesar untuk Indonesia yang terekam di Pancasila dan Undang-Undang Dasar Indonesia.

Mengamanahkan mimpi tersebut — yang terukir secara terbuka di Sila Kelima “Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia” Pancasila — merupakan tanggung jawab terbesar para pemegang amanah. Penyandang tersebut adalah kita, masyarakat yang memegang kuasa di negara demokrasi ini, untuk meyakinkan perwakilan kita di gedung DPR, MPR, hingga Istana Negara untuk segera menyudahi kegiatan yang menyiptakan konflik identitas atas apa yang sungguh dipegang oleh pejabat negara, keuntungan semata, atau kemajuan bangsa. Kedaulatan rakyat yang memegang kuasa terbesar dan dirayakan melalui adanya pesta demokrasi di lingkup lokal maupun nasional, haruslah disadarkan dan disosialisikan keberadaannya untuk menyelesaikan krisis seperti Kedaulatan pangan dan eksploitasi bisnis yang notabene-nya bersifat ekonomi Neoliberal.

Seperti yang disanggahkan David Harvey; “(Ekonomi) neoliberalisme adalah paham yang menekankan jaminan terhadap kemerdekaan dan kebebasan individu melalui pasar bebas”. Dari sini tampak jelas bahwa neoliberalisme mengagungkan pasar di atas segala-galanya, dari sini pasar dipandang secara eksklusif memiliki cara, mekanisme, dan kesucian sendiri untuk mengurus dirinya secara spontan, tanpa ada peran yang diperlukan untuk mengaturnya. Ini kemudian menyingkirkan peran dari negara, hingga ke masyarakat yang pada akhirnya akan terdampak dari sistem ini. Hal tersebut dilanjutkan oleh Harvey, dimana ekonomi neoliberal berkonsekuensi menciptakan situasi ‘accumulation by dispossession’ , hal tersebut meliputi dan secara khususnya; komodifikasi dan privatisasi tanah, berambis mengusir para petani secara paksa; konversi berbagai bentuk hak milik (bersama, kolektif, negara, dan sebagainya) ke hak-hak kepemilikan pribadi secara eksklusif; larangan secara paksa hak-hak milik bersama; komodifikasi tenaga kerja dan eliminasi secara paksa bentuk-bentuk alternatif (indigenous) model-model produksi dan konsumsi dan; proses-proses pengambil alihan aset dengan cara-cara kolonial, neokolonial, dan imperial (termasuk sumber daya alam) (Harvey, 2003, 2007).

Praktik-praktik Neoliberal yang sudah dipaparkan diatas menciptakan suasana yang berujung penderitaan untuk rakyat secara menyeluruh, dimana segenap bagian masyarakat dari miskin hingga menengah keatas pun akan terdampak. Dikarenakan Neoliberalisme dengan semata hanya memikirkan tentang pertumbuhan ekonomi dan jaminan efektifitas, semuanya untuk kepentingan akumulasi kapital. Apadaya memerlukan adanya penekanan kembali terhadap masyarakat secara menyeluruh dari pemerintah yang menjadi aktor utama eksploitasi neoliberalisme, mempengaruhi perjuangan rakyat atas adilnya Kedaulatan Pangan. “Harus kita jaga stabilitas negeri demi ekonomi” salah satu contohnya. Jargon utama yang digunakan, mengedepankan aspek politik untuk menginfluensi faktor sosial masyarakat agar mereka tetap diam dan tenang, menuruti apa yang dikatakan otoritas mengenai kebijakan dan keputusan yang menyangkut ekonomi. Hal tersebut dipastikan tidak akan memberi masyarakat kenyamanan dan kesejahteraan, namun kerugian secara materiil dan nyata dari adanya pemindahan paksa dan privatisasi hak-hak kolektif bahkan individu yang memiliki influensi kecil untuk sisi-sisi korporasi yang “menguntungkan negara dan pejabatnya” dalam bentuk investasi dan pembangunan modal. Serta merta ini hanya melemahkan kebebasan rakyat dengan mengkonversi okupasi mereka yang sebelumnya merdeka; macam petani, nelayan, dan peternak, menjadi buruh kasar yang harus menggantungkan hidupnya ke dari Upah ke Upah.

Tak dapat dipungkiri bahwa ekonomi berbasis neoliberalisme menjebak masyarakat dalam siklus penyiksaan secara ekonomi yang pada akhirnya berimbas ke sistem pangan berbasis komoditas dan industrial yang gagal memberi makan banyak orang di dunia. Kesejahteraan bersama menjadi pilihan yang terakhir bahkan tidak dikonsiderasikan dalam pembuatan kebijakan, menunjukkan ke kita betapa besar risiko membiarkan korporasi besar bertanggung jawab untuk memberi makan orang. Karena itu, memberikan justifikasi bahwa Kedaulatan Pangan merupakan krisis yang penting dan harus diperjuangkan untuk memperoleh kesejahteraan bersama untuk melepaskan masyarakat dari belenggu Neoliberalisme yang menyerahkan tanggung jawab pangan ke korporasi, dan memberikan kembali hal tersebut ke masyarakat komunal, dan kolektif lokal setiap komunitas masyarakat.

Menegakkan perubahan tersebut akan memerlukan perjuangan yang panjang dan berkelanjutan. Sama halnya seperti yang sudah ditempuh oleh organisasi/koalisi seperti KRKP dan Greenpeace yang sudah berusaha memberdayakan urgensi kedaulatan pangan untuk mengatasi krisis pangan yang khususnya di saat pandemi Covid-19 ini, akan berimbas ke semua pihak, lebih parahnya untuk masyarakat yang tertindas oleh efek negatif ekonomi komoditas dan berfokus ke akumulasi kapital. Menciptakan keadaan yang ideal untuk masyarakat merupakan kunci untuk merebut kembali kedaulatan yang hilang diregut oleh sistem yang eksploitatif, dan salah satu langkah yang harus ditempuh adalah untuk merebut kembali kedaulatan pangan yang hilang ditelan oleh kebijakan disposesi yang dilakukan pemerintah yang diinfluensi oleh kepentingan aktor-aktor yang bergerak dibawah nama “Pasar Bebas”.

Referensi

David Harvey (2003); the New Imperialism, Oxford: Oxford University Press.

David Harvey (2005); a Brief History of Neoliberalism, Oxford: Oxford University Press.

David Harvey (2007); Neoliberalism and Creative Destruction, ANNALS, AAPS, 610, March, p.34–5.

Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan; Link:https://kedaulatanpangan.org/

Greenpeace Indonesia (2020); Link:https://www.greenpeace.org/indonesia/cerita/5462/kedaulatan-pangan-sekarang-dan-pasca-pandemi/

--

--

Muhammad Fawwaz Nuruddin

Mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, International Program (KKI)