Beban Ilmu: Refleksi Intelektualisme

Muhammad Fawwaz Nuruddin
3 min readJun 21, 2020

--

Atlas dan Bumi

Melihat gambar Atlas, sang Titan yang menopang berat semesta di punggungnya membuat saya berpikir. Terpicu, refleksi diri pun saya lakukan mengenai status dan takdir saya di dunia ini. Sebuah dunia yang berada dalam momen genting dalam sejarah, yaitu saat dimana umat manusia melangkah melaksanakan sebuah lompatan besar dalam kemajuan teknologi Revolusi Industri Keempat.

Saya mungkin terkesan sombong, melebih-lebihkan, atau terlalu percaya akan kemampuan diri, namun saya melihat diri saya di posisi Atlas. Memegang beban yang tak terucapkan di punggung, menderita namun tak mampu dan tak akan bisa melepaskan diri dari beban yang ditopang. Terkutuk untuk selalu menopang semesta hingga akhir masa.

Bagi saya, beban yang saya topang di punggung saya adalah beban terhadap masyarakat, bangsa, dan sesama manusia. Kenapa bisa? Karena saya sadar jika dibanding mayoritas orang lain, saya diberkati dengan kelebihan-kelebihan yang langka. Setidaknya itulah yang orang harap kepada saya. Kata “saya lebih mampu” terus tersimpulkan di pikiran saya. Kalimat-kalimat “Saya lebih mampu menyadari permasalahan-permasalahan yang menyerang manusia dalam kehidupan sehari-harinya”, “Saya lebih mampu menyelesaikan permasalahan dunia dibanding orang lain”, dan “Saya lebih mampu berjuang demi mereka yang tak kuasa dan lemah” terus bergema dalam pikiran, menyerang waktu tidur dan saat-saat manis langka yang saya alami.

Menurut saya, kesadaran saya dalam permasalahan politik dan dunia lebih tinggi dibanding sebagian besar masyarakat. Pendapat itu pun dipengaruhi besar oleh perkataan orang-orang kepada saya. Saya dianggap akan mengubah dunia karena “jiwa, kepribadian, pola pikir, dan kemampuan unik” yang saya miliki.

Satu-satunya cara saya bisa melakukan itu semua adalah dengan mengejar kekuasaan. Kekuasaan politik yang menjadi kunci perwujudan mimpi saya. Kekuasaan untuk mengubah hidup jutaan manusia dengan sepatah kata, bagaikan membalikkan tangan. Pengejaran kekuasaan sendiri menjadi bentuk perwujudan pengembanan tanggung jawab yang banyak orang telah limpahkan kepada saya. Saya sendiri tak tahu apakah saya akan berhasil mendapatkan hal tersebut, apalagi mewujudkan hal-hal yang telah saya impikan. Kekuasaan sendiri merupakan suatu konsep yang pengejarannya bisa memakan jiwa dan raga manusia, baik dalam bentuk darah atau kewarasan, dan saya khawatir bahwa pengejaran tersebut akan mengubah saya menjadi seorang manusia yang tak manusiawi.

Terutama karena sebuah mimpi hanyalah mimpi tanpa aksi dan mungkin karena hampir semua orang melebih-lebihkan kemampuan saya, saya pun merasa tidak leluasa. Hal-hal yang saya kejar dan menjadi tanggung jawab tersebut menjadi sebuah beban berat yang berada di punggung.

Bagaikan Atlas, terdapat semesta yang saya rasakan di punggung saya. Jika saya gagal dan tidak kuat, semesta pun akan terjatuh dan hancur. Akan tetapi, saya bukanlah seorang dewa yang bisa menopang beban tersebut hingga akhir masa. Sebuah penyelesaian pun akan diberikan oleh takdir masa depan yang menanti saya. Namun, terdapat suatu pertanyaan yang menghantui saya.

Akankah saya mampu menopang beban tersebut hingga akhir dan mimpi serta tanggung jawab yang miliki terwujud dan terselesaikan ataukah saya akan gagal dan semesta sekitar saya pun akan terjatuh? Hanya waktu, takdir, dan ketidaksengajaan yang akan memberikan jawabannya. Sampai saat itu tiba, saya akan semampunya menopang beban tersebut, bagaikan Atlas.

--

--

Muhammad Fawwaz Nuruddin

Mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, International Program (KKI)