Analisis Materialisme Historis Monopoli Perdagangan Rempah (Spice Trade) Portugal dan Belanda di Nusantara

Muhammad Fawwaz Nuruddin
9 min readSep 2, 2020

--

Kapal penjelajah Eropa ‘Carrack’ di perairan Portugal

Sudah kita ketahui, rempah-rempah merupakan bahan baku yang mendarah daging di Nusantara. bahan baku yang menyokong perdagangan Nusantara (area yang mencakup Indonesia dan Malaysia) yang diproduksi dari kepulauan Maluku (Banda), hingga Nusa Tenggara (Sumbawa, Flores, Timor dst.). Rerempahan ini adalah sumber mata pencaharian yang utama bagi suku-suku asli kepulauan di Nusantara beserta dengan pedagang-pedagang jauh yang berkompetisi di sosial pasar bebas dimana mata pencaharian mereka bergantung dengan mulusnya transaksi jual-beli yang adil dengan pemukiman lokal. Perdagangan tersebut diawasi oleh otoritas lokal yang bertugas menjaga dan mencukai proses perdagangan. Pedagang luar akan memasok rempah-rempah tersebut kembali ke tempat asal mereka. Inilah keadaan sehari-hari perdagangan Nusantara yang diketahui sebelum datangnya orang Eropa.

Pedagang Internasional membawa perubahan penting dari jalannya perdagangan lokal di daerah Nusantara. Pusat kekuatan dagang samudera Hindia pun terletak di perairan Selat Malaka. Menjadikan selat tersebut gerbang menuju kepulauan Maluku dan Nusa dimana rempah-rempah dikultivasi dan ditumbuhkan. Terdapat Kekuasaan kolektif dari masing-masing etnis suku kepulauan di Maluku, yang kemudian diambil alih oleh kekuasaan otoritas Majapahit. Proses tersebut merupakan kemajuan sistem peradaban dari suku-suku (Tribalisme), Feudalisme oleh aristokrat kerajaan lokal, kemudian berakhir di kekuasaan sistem Proto-Kapitalisme yang berjalankan menggunakan sistem Monopolistik jelmaan Belanda (VOC) dan Portugis (Estado da India).

Hal pertama yang dapat diketahui adalah Rempah-Rempah Nusantara ini dianggap komoditas yang berharga. Alasannya adalah rempah-rempah yang tumbuh alami di Indonesia (seperti Merica, Pala, Cengkeh, Kayu Manis dan Kunyit) (Kompas, 2019) tidak dapat ditemukan kuantitas keberagamannya yang sama seperti di daerah asal Pedagang-Pedagang lain pada Abad ke-13–15, dimana mayoritasnya berasal dari Asia Timur (Jepang/China), India, hingga Arab dan Afrika. Mereka memperjual-belikan rempah-rempah tersebut dengan barang-barang yang dibuat di negara mereka masing-masing. Membangun pasar pertukaran rempah bebas yang dipenuhi oleh macam-macam komoditas dagang.

Reputasi, kemahsyuran, dan kekayaan yang dapat diperoleh dari pasar rempah-rempah Nusantara yang tercangkup di jalur perdagangan Samudra Hindia pun menyebar ke-seantero dunia, khususnya ke belahan dunia Barat, dimana kaum borjuis, imperialis, serta aristokrat Eropa melihat dengan sinis dan berniat mengambil alih dan menginfluensi Nusantara dengan kedok terhormat mereka atas kepercayaan 3G yang diutarakan bangsa Spanyol; Gold, Glory, and Gospel. Dari kacamata Materialisme Historis, kepercayaan kerajaan Spanyol dan Portugal ini berlandaskan keadaan nyata/riil sosial-politik dan ekonomi yang mereka alami. Faktor terbesar adalah tertutupnya jalur dagang rempah-rempah oleh kesultanan Ottoman (Imperium Islam).

Wilayah Kekuasaan Ottoman-Turki di puncak kejayaan mereka

Portugal sebagai Imperium kristen, dengan paksaan keyakinan, kontradiksi budaya, beserta dengan tekanan ekonomi dari tingginya harga rempah yang dijatuhkan oleh Sultan Ottoman, merasa harus menemukan cara lain untuk memperoleh rempah-rempah dan kekayaan yang dibawa oleh komoditas tersebut. Praktis Monopoli yang dilakukan oleh Ottoman-Turki pun akan menjadi benih inspirasi pertama praktis Monopolistik dan Proto-Capitalism yang akan dilakukan oleh kerajaan-kerajaan Eropa ketika periode Kolonisasi memasuki Asia Tenggara menjelang zaman Proto-Industrial. Pendukung utama pengembangan utama tersebut melalui Kerajaan Portugal.

Ketenaran pasar dagang rempah-rempah pun memikat Penjelajah Portugis, dibantu perkembangan teknologi pelayaran mereka, pada awal Abad Ke-16 oleh Vasco da Gama, dapat mencapai India. ketika (Vasco da Gama), ditanyai alasan singgah ke India; “Vimos buscar cristãos e especiaria; Kita mencari (orang) Kristen dan Rempah-Rempah,” dimana menurut penulis Portugis Magalhaes Godino, memulai “Langkah awal Imperialistik dari (perdagangan) Merica; “o advent do imperialsmo da pimento” (Godino, 1969) Ekspansi menuju Nusantara dimulai dari Semenanjung Malaya oleh Penjelajah Sequiera dan Affonso de Albuquerque. Dari pelayaran mereka, benteng dan pusat perdagangan di Malaka ditaklukkan dari Kesultanan Malaka dan dijadikan sebagai pusat kekuatan mereka untuk memindahkan pusat kekayaan dari perdagangan rempah-rempah di Nusantara (mayoritas dari Kepulauan Maluku), menuju jalur perdagangan yang dikontrol mereka kearah Eropa. Portugal menciptakan hegemoni dagang yang berbasis di poin-poin/kota-kota penting Pusat perdagangan Samudera Hindia yang bertanggung jawab atas jalannya perdagangan berbasis merkantilisme.

Hasil kekayaan dari perdagangan tersebut dibawa kembali ke Portugal daratan di Lisboa, memperkaya kelas aristokrat dan borjuis yang mendorong adanya ekspansi perdagangan ke Wilayah Asia-Timur. Estado da India atau kekuasaan Timur Portugis membawa kekayaan tak terkira, namun kekuasaan mereka tak dapat bertahan lama. Mulai dari faktor Internal sistem administrasi hegemoni mereka, beserta dengan faktor eksternal seperti kedatangan Pedagang Eropa lainnya. Tantangan dari Kesultanan Ottoman dan kerajaan lokal yang menantang kuasa mereka terhadap perdagangan Rempah-rempah yang berbasis merkantilis dan monopolistik menghasilkan konflik tak berujung. Perjuangan orang-orang Portugis untuk menjaga kekuasaan mereka di Timur pun menjadi hambatan yang tak berbanding kepada Insentif awal penaklukan jalur rempah-rempah Samudera Hindia, berbagai macam masalah Internal pun menahan mimpi atas kekuasaan menyeluruh.

Bentuk sistem Thalassocracy[1] bangsa Portugis yang dipraktikkan dalam kekuasaan Estado da India mereka hanya dapat berjalan jika tak ada Kerajaan tandingan yang menyaingi kekuatan mereka. Kemajuan yang dibawa oleh sistem perdagangan yang dipelopori oleh bangsa Portugis dikawasan Samudera Hindia mendapat balasan reaksionaris, dikarenakan keadaan ini menimbulkan kenyataan baru konflik sosial-politik Samudera Hindia. Dimulai oleh kesultanan Ottoman beserta kerajaan Hormuz, Mamluk Mesir dan Gujarat yang mengontrol Perdagangan Laut Merah dan Arabia dan mengancam gerbang barat mereka (Özbaran, 1990). Kesultanan Bengal, Johor (dahulu Malaka namun ditaklukkan Portugis), yang menguasai gerbang timur Samudera Hindia. Hingga merambat ke kesultanan Samudera Pasai, Sunda, Majapahit hingga beragam kerajaan lainnya yang menguasai daerah regional usaha kultivasi Rempah-Rempah di Nusantara yang menentang ekspansi influensi Portugal.

Meningkatnya biaya dari usaha mereka menjaga hegemoni kekuasaan dengan berebut influensi dan daerah-daerah yang dikuasai kerajaan/aristokrat lokal menjadi faktor kejatuhan Imperium Portugis di timur. Meskipun investasi tetap berjalan di koloni mereka di Flores, kekayaan yang mengalir ke Eropa tidak seperti awal Hegemoni abad ke-16. Meninggalkan vacuum of power kekuasaan sistem Proto-Kapitalis Eropa, lalu dikapitalisasi oleh kekuatan Eropa lainnya, Inggris, Spanyol, dan khususnya Belanda, di kawasan Nusantara.

Pelabuhan Oriental

Berkembangnya kekuatan penjelajahan kerajaan Belanda menuju Nusantara didorong oleh dua hal utama: eksklusi dari perdagangan Rempah-Rempah yang digiring dari Pusatnya di Eropa di Lisboa pada tahun 1590-an, dan pengamatan penjelajah Belanda dari lemahnya hegemoni yang dipertahankan oleh Portugal. Pengamatan tersebut dipelopori penjelajah yang Belanda yang bekerja dibawah Imperium timur Portugal. Dua diantaranya Jan (Huyghen) Van Linschoten, penjelajah dan sejarawan yang mendokumentasikan perdagangan di Samudera Hindia. Lalu ada Cornelis de Houtman, saudara dari Frederick de Houtman, yang bekerja sebagai pedagang rempah di Lisboa, yang kemudian mengomandani pelayaran pertama menuju Orient dengan saudara kembarnya membuktikan bahwa ekspansi, kemudian Monopoli ke perdagangan rempah Nusantara dapat menguntungkan saku pedagang Belanda, khususnya aristokrat. Meskipun pelayaran Cornelis berujung tidak terlalu menguntungkan, terbuktinya pendapatan berupa rempah-rempah dari Nusantara membuka peluang untuk ekspedisi kedua yang dikomandani oleh Jacob van Neck untuk berlayar ke Timur, dan alhasil, membawa pundi-pundi uang yang cukup mengembalikan modal Investor pelayaran tersebut yang memperoleh keuntungan 399% (Aryono, 2012)

Pada tahapan ini, pejabat dan tokoh politik Belanda, Johan van Oldenbarnevelt, yang juga berjasa merangkul kemerdekaan dari Spanyol, meliat keharusan memersatukan kongsi dagang Belanda atas sektor pasar di Asia-Timur dan kepulauan Nusantara. Salah satu motif utamanya untuk mencegah kompetisi antara pedagang-pedagang yang akhirnya akan menyongsong kehancuran ekonomi masing-masing pedagang. Disusunlah kongsi dagang tersebut atas kendali Komite Heeren XVII yang menjadi badan utama pengurus jalannya Perusahaan Dagang tersebut, dimulai dari Charter Izin, Penjualan/Supply rempah-rempah utama di Belanda, serta pengatur harga Pasar domestik, dinamai Veerenigde Oostindische Compagnie atau “Persatuan Perusahaan Hindia Timur” disingkat ‘VOC’ (Jan de Vries, 1997). Tak bisa dipungkiri, munculnya VOC terdapat juga motif politik dari munculnya suatu ‘Pemersatu’ influensi Belanda di Hindia Timur/Nusantara. Selain menyongsong Influensi Belanda dan menggantikan hegemoni dan monopoli Portugal di perdagangan rempah-rempah, Belanda mencegah bangsa Eropa yang lain (Inggris dan Spanyol) untuk merebut bagian perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Perkembangan antara sistem pemerintahan inilah yang memindahkan kuasa kompetisi Portugis keluar dari Nusantara, dengan Memberikan Administrasi VOC quasi-rule basis kepemimpinan dagang di Asia. Memberikan kuasa atas tanggung jawab perdagangan Belanda di Nusantara ke VOC membuka banyak peluang atas bisnis dan militer, Heeren XVII di Amsterdam meliat kemungkinan tersebut, dengan memberikan perintah untuk membangun basis kekuasaan yang permanen di Asia Timur, salah satunya adalah dengan pembentukan Batavia sebagai Ibukota perdagangan Belanda, dan pemerintahan de-facto VOC di Hindia Timur, dibawalah pemilihan Jan Pieterszoon Coen, sang Gubernur-Jenderal yang bertanggung jawab atas ekspansi tersebut. (Jan de Vries, 1997)

Pembentukan Batavia sebagai basis kekuatan Belanda di Nusantara dibayar dengan harga yang tidak murah untuk kerajaan-kerajaan lokal, salah satunya Kerajaan Banten, kekuasaan mereka dibabat oleh ekspansi VOC menuju dataran Jawa Barat, menandakan tanda-tanda kolonialisme kedepannya. Solidifikasi dari kekuasaan VOC pun memberikan mereka kekuatan untuk mengontrol Produksi rempah-rempah di Timur Nusantara, memonopoli proses perdagangan jual-beli di daerah seperti Kepulauan Maluku, Timor, dan Banda.

Kota Batavia dari Permainan VR berjudul sama

Basis kekuatan yang dimiliki oleh pemerintahan VOC dibayar mahal oleh penghuni asli kepulauan tersebut. Dimana Orang-orang Portugis dan awalnya Belanda, datang hanya untuk berdagang, berganti menjadi pihak yang merasa berkuasa atas rempah-rempah yang telah dikultivasi oleh suku mereka sejak belasan tahun, Konflik pun pecah. Hasil akhir adalah Jan P. Coen, tak segan-segan melakukan pembantaian etnis penghuni Pulau Banda, dan menggantikan petani orang asli yang tidak taat dengan VOC, dengan Perkeniers atau tuan tanah Belanda dan memperbudak orang asli pulau Banda sebagai tenaga kerja.

Pemikiran tersebut diprediksi oleh Heeren XVII dan Jajaran komisaris di Hindia Belanda, bahwa ekspansi dilakukan demi Monopoli Komersil. Melakukan Ekspansi secara bisnis dan militer VOC secara paksa, dengan menguasai sumber, alat dan keahlian produksi rempah di Nusantara akan memberikan mereka kekuatan untuk membeli murah rempah-rempah Nusantara, dan menjualnya dengan harga yang menakjubkan di Eropa. Pemikiran Monopoli Merkantilisme pun sudah diadopsi dari awal oleh Heeren XVII di Amsterdam, namun pelaksanaan pemahaman tersebut oleh Jajaran Direktur di Batavia memiliki birokrasi rumit. Adanya perusahaan dagang saingan dari kerajaan Eropa lainnya, penyelundup, kegiatan dagang pedagang Lokal/Pribumi, dan keberadaan pusat perdagangan yang Independen dari kuasa mereka di Asia menyebabkan kuasa monopolistik tanpa konflik, pada hakekatnya, mustahil dilakukan. Jajaran Direktur beserta dengan mayoritas Gubernur Jenderal penerus Jan P. Coen setuju untuk mengejar ambisi kekuasaan Politik di seantero Nusantara, barulah mereka dapat menjaga Hegemony perdagangan Belanda di Nusantara.

Seperti kutipan Coen; “Secara pengalaman, kalian (Heeren XVII) bahwa di Hindia, perdagangan mampu dilaksanakan dan dijaga dengan perlindungan oleh tangan kita sendiri (VOC) dan persenjataan tersebut harus dibiayai oleh penghasilan dari perdagangan tersebut. Pendek Kata, Tidak ada Perdagangan tanpa Perang, dan Perang tanpa Perdagangan (untuk menyokongnya).”

Visi dan Idealisme yang bersifat Superstructure itupun diadopsi oleh gubernur jenderal setelah Jan P. Coen, yang kesulitan menghadapi kondisi sosial-ekonomi dan politik realistis yang rumit. Penerus Coen harus berani bertindak secara mandiri melangkah menuju kondisi yang Ideal, tentunya tanpa bimbingan terkontrol oleh para Investor dan Jajaran Direktur Heeren XVII di Belanda, memberikan Gubernur-Jenderal VOC dan Dewan Tinggi mereka (The Hoge Regering) Otonomi luar biasa dalam menyebarkan influensi dan kekuasaan. Terutama implementasi sistem sosial yang sudah dipahami sebelumnya di Eropa, di daerah Nusantara.

Kemajuan secara paksa dapat dilihat dari proses solidifikasi dan ekspansi VOC di Nusantara, dengan menyebarkan sistem kekuasaan Feudalisme Serfdom (Kerja Paksa) kepada rakyat asli, dengan cara mencabut influensi dari sistem suku-suku dan kerajaan feodal otonomi, dan meleburnya dengan sistem kerja paksa yang diterapkan VOC. Salah satu hal yang dapat digarisbawahi adalah hal ini menjadi ‘kelebihan’ yang didapat oleh Orang-Orang Belanda selama solidifikasi kekuasaan mereka di Nusantara.

Kurangnya pemikiran terpelajar dan Intelektualitas lokal, dibandingkan dengan orang Eropa sudah dilewati pada jaman Renaissance dan Reformation, memberikan kesempatan bagi VOC hak kuasa atas relasi produksi antar kelas. dengan taraf bahwa, orang terpelajar dan ‘maju’ secara teknologi dari Barat memiliki derajat lebih tinggi dari Pribumi Hindia-Timur. Narasi antar kelas Minoritas (Aristokrat) dengan Mayoritas (Pribumi Pekerja) tersebut diperbaharui dengan dicampuradukkannya konsep Kekayaan, Agama dan Budaya, serta Warna Kulit yang dimiliki masing-masing ras. Sistem tersebut, secara brutal telah diimplementasikan dan berhasil dicapkan kepada masyarakat Nusantara.

Hingga sekarang kita masih bisa mengingat luka-luka yang dibawa oleh Kekuasaan Belanda lebih kejam dari Despotisme priyayi-priyayi lokal sebelum datangnya VOC. Hasil dari keaadan ini memberikan kesempatan untuk mereka mengembangkan Ide Proto-Kapitalis hingga merambat Cultursteelsel melalui kepentingan untuk mengingkatkan tingkat produksi tanam. Akhirnya Kapitalisme Imperialis diterapkan secara menyeluruh oleh Belanda di Hindia-Belanda dengan bubarnya VOC pada tahun 1799 (Jan de Vries, 1997).

Hakekatnya, Belanda memiliki tujuan mengembangkan influensi dan perkembangan mereka di Nusantara. Namun, cara utama penyebaran Paham Proto-Kapitalisme melalui implementasi brutal Belanda pada akhirnya memberikan dampak positif pada masyarakat Indonesia kedepannya. Perkembangan sosial secara pemahaman teknologi, tenaga kerja dalam Influensi mereka atas produk kapital yang diproduksi di Nusantara (rempah-rempah) memberikan Pribumi potensi untuk berkembang dan mengambil alih alat dan sistem produksi untuk keuntungan bersama, jauh dari pengaruh paham Kolonial terdahulu.

Setidaknya itu mimpi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia…

Referensi

Aryono. (2012). Historia; Melipat Laba di Pelayaran Kedua. Retrieved from Historia.id: https://historia.id/kuno/articles/melipat-laba-di-pelayaran-kedua-P0olW

Godino, M. (1969). Os Descobrmentos e a Economia Mundial. The Portugese Seaborne Empire, 37.

Jan de Vries, A. v. (1997). The First Modern Economy; Success, Failure, and Perseverance of The Dutch Economy, 1500–1815. Berkeley: Cambridge University Press.

Kompas. (2019, Juni 09). Pesona Indonesia. Retrieved from Kompas Web site: https://pesonaindonesia.kompas.com/read/2019/06/20/150012927/sejuta-manfaat-dari-rempah-khas-indonesia

Özbaran, S. (1990, October 30). Ottoman Empire and the Spice Routes in the 16th Century. Knowledge Bank Article — UNESCO Silkroad Files, pp. 0–7.

Ricklefs, M. (1981). A History of Modern Indonesia. London: Palgrave.

[1] Thalassocracy: Kerajaan yang membangun basis kekuasaan mereka di Laut dengan menggunakan Angkatan Laut mereka dalam menjaga Hegemony yang telah dibangun.

--

--

Muhammad Fawwaz Nuruddin

Mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, International Program (KKI)